ABDURRAHMAN GANJUR GODHO MUSTIKO
ABDURRAHMAN
GANJUR GODHO MUSTOKO
Pada
zaman dulu di negara Persia terdapat keluarga Syeh Maulana Maghribi, dengan
istrinya bernama Nyi Samsiyah. Keluarga itu mempunyai anak laki-laki, bernama
Abdurrahman. Pekerjaan sehari-hari sebagai pedagang, yang mengedarkan barang
dagangan ke pelosok-pelosok desa. Disamping berdagang, beliau juga menyebarkan
agama Islam di daerah yang dilalui. Karena pekerjaannya sebagai seorang
pedagang dan juga sebagai penyebar agama Islam, beliau mendapat nama lakofan
(julukan) Maulana Maghribi yang artinya seorang musyafir yang menyebarkan agama
Islam. Adapun siapa nama asli Maulana Maghribi, sayang tidak ada yang tahu.
Pada
suatu ketika Syeh Maulana Maghribi pergi ke tanah Jawa, untuk berdagang dan
menyebarkan agama Islam. Bertahun-tahun beliau di tanah Jawa, tanpa memberi
kabar istrinya. Karena rindu kepada ayahnya, setiap malam Abdurrahman selalu
menangis. Nyi Samsiyah kebingungan melihat putranya itu, maka beliau bertekad
menyusul suaminya ke tanah Jawa. Dengan menumpang kapal layar, berangkatlah Nyi
Samsiyah bersama putranya menuju tanah Jawa. Turunlah Nyi Samsiyah bersama
putranya di pelabuhan Cirebon, kemudian dicari rumah penduduk untuk tempat
menginap. Di tempat yang baru itu Nyi Samsiyah kebingungan mencari keberadaan
suaminya. Karena takut meneruskan perjalanan, beliau memutuskan sementara
tinggal di Cirebon.
Syahdan
pada suatu malam Sunan Gunungjati pulang dari mengajar mengaji, dan lewat di
depan penginapan Nyi Samsiyah. Beliau merasa iba mendengar suara tangis anak
kecil yang selalu menanyakan ayahnya. Beliau mendatangi rumah penginapan Nyi
syamsiyah, menanyakan sebab anaknya menangis. Mendengar cerita Nyi Samsiyah,
sangatlah terharu hati Sunan Gunungjati. Pada malam hari itu juga, diajaknya
ibu dan anak itu untuk tinggal di rumahnya. Beliau berjanji, akan ikut membantu
mencari keberadaan suaminya. Pada suatu hari Sunan Gunung Jati mendapat
undangan dari Demak, guna menghadiri musyawarah para wali yang merencanakan
pendirian kraton dan masjid Demak. Berangkatlah beliau ke Demak, dengan
mengajak Nyi Samsiyah dan putranya.
Selama
berada di Demak, mereka diberi tugas menanak nasi untuk makan para santri yang
bekerja membuat masjid. Sedangkan Abdurrahman diberi tugas mengumpulkan kayu
tatal, yang digunakan untuk menanak nasi. Sunan Kalijaga tertarik melihat ketekunan
ibu dan anak itu, dalam bekerja, menyediakan makanan bagi para pekerja. Juga
melihat sorot mata Abdurrahman, Sunan Kalijaga tahu bahwa anak itu memiliki
suatu kelebihan. Karena itu beliau ingin mencoba, sampai dimana ketekunan
Abdurrahman melaksanakan tugas yang diberikan. Beliau kemudian memberi tugas
Abdurrahman untuk memukul bende, tanda para santri harus melaksanakan sholat
atau istirahat.
Ternyata
dalam memukul bende dia tidak menggunakan kayu, tetapi hanya menggunakan
kepalan tangan (bahasa Jawa : diganjur). Walau menggunakan kepalan tangan,
tetapi suaranya dapat terdengar sampai jauh. Dengan kelebihan itu, Abdurrahman
diberi nama julukan Ganjur.
Pada
suatu hari Sunan kalijaga ingin menguji lagi, tentang kelebihan yang dimiliki
Abdurrahman. Disuruhnya Abdurrahman menunjukkan arah kiblat, yang akan
dijadikan patokan pendirian masjid. Dengan tidak merasa ragu, ditunjuknya arah
kiblat masjid dengan benar. Sebenarnya Sunan Kalijaga sudah tahu arah kiblat
seperti yang ditunjuk Abdurrahman, tetapi hal itu hanya merupakan ujian
terhadapnya. Konon cerita para santri kesulitan memasukkan purus tiang pada
lubang blandar. Sudah beberapa kali dicoba, tetapi purus sulit masuk ke dalam
lubang. Aburrahman kemudian naik ke atas, dan memukul blandar tersebut
menggunakan tangan. Ternyata dengan sekali pukul, purus tersebut dapat masuk ke
dalam lubang blandar.
Pada
tahun 1479 masjid Demak selesai dikerjakan, ditandai dengan relief berbentuk
bulus. Bila relief gambar bulus diuraikan, mempunyai arti :
Kepala
bulus berarti angka satu …………............. (1)
Kaki
empat berarti angka empat ….…................. (4)
Badab
bulus berarti angka nol …………................. (0)
Ekor
bulus berarti angka satu ……………............. (1)
Jadi
relief gambar bulus itulah yang diambil sebagai pedoman oleh para ahli sekarang
ini, bahwa telah selesai dibangun serta digunakan masjid Demak itu diyakini
tahun 1401 Saka, atau tahun 1479 Masehi.
Setelah
masjid Demak selesai dibangun, atas hasil musyawarah para wali maka Abdurrahman
Ganjur diberi tugas menjadi Magersari masjid. Walau masih kecil, Abdurrahman
sudah cekatan melaksanakan tugas. Sambil melaksanakan tugas, Abdurrahman juga
tekun belajar mengaji kepada Sunan Kalijaga. Sedangkan pada malam hari
Aburrahman belajar mengaji kepada ibunya, guna mempelajari kitab kuning yang
dibawanya dari Persia dulu. Dengan belajar mengaji dari Sunan Kalijaga dan
ibunya, maka pengetahuan agama yang dimiliki melebihi para santri yang belajar
lebih dulu. Karena itu ketika sedang melaksanakan tugas sebagai magersari
masjid, kadang dia juga mengajar mengaji kepada para santri yang baru datang
untuk belajar. Karena itu kebanyakan para santri memanggilnya kyai, atau lengkapnya
Kyai Abdurrahman Ganjur. Nama Ganjur itu sendiri sebenarnya merupakan julukan,
yang diberikan para santri waktu mendirikan masjid Demak. Hingga bertahun-tahun
Abdurrahman bertugas sebagai magersari masjid, hingga sampai menginjak pada
usia remaja.
------------------------
Pada
suatu hari Kyai Abdurrahman Ganjur teringat kembali pada tujuan semula, untuk
mencari ayahnya di tanah Jawa. Beliau merasa yakin ayahnya masih berada di
tanah Jawa, dan belum kembali ke tanah Persia. Karena rasa rindu pada sang ayah,
maka timbul keinginannya untuk mencari. Hal tersebut disampaikan kepada
gurunya, dan mohon izin meninggalkan tugas guna mencarinya. Sunan Kalijaga
terharu mendengar keinginan Abdurrahman, maka beliaupun mengizinkan juga.
Disuruhnya dia pergi ke hulu sungai Tuntang, karena suatu saat nanti ayahnya
akan lewat. Daerah yang ditunjukkan gurunya itu, suatu tempat di pinggir sungai
Tuntang yang banyak tanaman glagah.
Setelah
berpamitan kepada guru dan ibunya, berangkatlah Kyai Abdurrahman Ganjur menuju
ke daerah hulu sungai Tuntang dengan menumpang perahu. Ketika sampai di daerah
seperti yang ditunjukkan gurunya, turunlah Abdurrahman dari atas perahu. Beliau
kemudian mendirikan gubug di pinggir sungai, agar dapat melihat ayahnya bila
lewat di sungai itu. Ternyata gubug yang didirikan Kyai Abdurrahman, berdekatan
dengan pedukuhan, yang dulu pernah disinggahi para santri Sunan Kalijaga waktu
mengawal rakit.
Bertahun-tahun
Abdurrahman Ganjur tinggal di pedukuhan itu, sambil mengajar mengaji kepada
warga sekitar. Banyak juga warga dukuh lain, yang datang untuk belajar mengaji
kepadanya. Karena itu pedukuhan yang semula sepi, akhirnya menjadi ramai juga.
Oleh Kyai Abdurrahman Ganjur, pedukuhan itu diberi nama “Ngroto”. Konon nama
Ngroto berasal dari kata roto (rata), karena dulu rata dikelilingi tanaman
glagah. Dari kata roto itulah akhirnya berubah menjadi ngroto, dan nama
tersebut dipakai sebagai nama desa hingga sekarang.
Pada
suatu hari Kyai Abdurrahman Ganjur melihat ada seseorang yang berpakaian kyai,
yang sedang menaiki rakit bambu di sungai Tuntang. Ketika sampai di dekatnya,
tiba-tiba rakit berhenti karena tersangkut tonggak. Orang tersebut sudah
berusaha untuk mencabut tonggak, tetapi tidak berhasil juga. Melihat hal itu
Kyai Abdurrahman Ganjur datang membantu, dan tonggak itu dapat dicabut. Kyai
Abdurrahman Ganjur juga mempersilahkan orang tersebut singgah di gubugnya,
walau hanya sebentar. Dalam bersilaturahmi orang tersebut bercerita, bahwa
dirinya berasal dari Persia. Sudah lama tinggal di tanah Jawa, untuk berdagang
sambil menyiarkan agama Islam di daerah. Kyai Abdurrahman Ganjurpun bercerita,
bahwa dirinya juga berasal dari Persia. Datang di tanah Jawa karena diajak
ibunya, untuk mencari ayahnya yang pergi ke tanah Jawa. Mendengar cerita Kyai
Abdurrahman Ganjur, tiba-tiba tamu itu merangkul sambil menangis. tamu itu
berkata, bahwa tidak salah lagi kalau Kyai Abdurrahman Ganjur adalah anaknya.
Keduanya saling berpelukan melepas rindu, karena bertahun-tahun tidak bertemu.
Kyai Abdurrahman Ganjur meminta kepada ayahnya, untuk bersedia tinggal di
pedukuhan Ngroto. Tetapi beliau mengatakan, bahwa ada tugas penting yang harus
diselesaikan dulu di Demak.
Syahdan
Nyi Samsiyah di Demak, sangat rindu kepada putra yang lama pergi mencari
ayahnya. Akhirnya beliaupun menyusul putranya, yang berada di pedukuhan Ngroto.
Selama
berada di pedukuhan Ngroto, pekerjaan Nyi Samsiyah adalah membantu putranya
mengajar mengaji para santri. Dalam mengajar mengaji beliau menggunakan metode
eja ala Persia. Sebagai contoh mengeja seperti alif fat ah a; alif kasro’ I;
alif dluma u, untuk santri pondok Ngroto akan mengejanya alif jabar a; alif
ajer i; alif apes u. Inilah yang para santri, yang lulus dari pondok pesantren
Ngroto sampai sekarang ini.
Bertahun-tahun
ibu dan anak tinggal di pedukuhan Ngroto, dan ternyata ayahnya tidak juga
datang. Sehingga pada suatu hari, Nyi Samsiyah yang sudah tua itu wafat. Dengan
dibantu para santri, jenazah ibunya dimakamkan di pinggiran sungai Tuntang.
Beberapa tahun kemudian, Kyai Abdurrahman Ganjur juga wafat. Oleh warga
pedukuhan, jenazah beliau dimakamkan berdampingan dengan makam ibunya. Karena
tidak ada yang merawat, makam beliau akhirnya rata tertimbun lumpur sungai
Tuntang.
Selama
hidup Kyai Abdurrahman Ganjur sibuk mengelola pondok dan menunggu kedatangan
sang ayah, sehingga tidak mempunyai niat untuk kawin. Masyarakat desa Ngroto
sekarang banyak yang mengatakan, bahwa Kyai Abdurrahman Ganjur adalah kyai yang
wadat (tidak kawin). Makam Kyai Abdurrahman Ganjur sampai sekarang ini, masih
dihormati penduduk desa Ngroto. Setiap hari selalu saja ada yang datang ke
makam beliau, untuk melaksanakan doa kubur. Ternyata kemasyhuran nama Kyai
Abdurrahman Ganjur, sampai juga ke daerah lain. Hal ini terbukti adanya warga
luar daerah , yang datang untuk berziarah. Sekarang di depan cungkup makam
dibangun pendopo besar, yang dapat digunakan para peziarah untuk bermalam.
Di
sekitar makam beliau, tiap tahun diadakan upacara “sego galeng”. Upacara itu
merupakan tradisi peninggalan orang-orang tua desa Ngroto zaman dulu, yang
masih dilestarikan sampai sekarang. Bentuk upacara sego galeng adalah memajang
nasi lengkap dengan lauk pauknya, diatur memanjang seperti pematang sawah
(bahasa jawa : galeng). Setelah selesai acara doa bersama, sego galeng
dijadikan rebutan warga yang hadir. Sambil makan nasi galeng, warga disuguh
acara tradisi siraman air dawet kepada perangkat desa. Pada acara itu Kepala
Desa dan perangkatnya, disiram air dawet hingga basah kuyub. Menurut keterangan
tokoh masyarakat, bahwa tujuan upacara itu adalah memohon berkah kepadaNYA agar
panen padi di desa Ngroto dapat berhasil baik. Adapun maksud penyiraman air
dawet kepada perangkat desa, agar mereka dapat memimpin desa Ngroto dengan adil
dan bijaksana.
0 Response to "ABDURRAHMAN GANJUR GODHO MUSTIKO"
Posting Komentar