MASJID JAMI' NGROTO
MASJID
JAMI' NGROTO
Kira-kira
satu abad setelah Kyai Abdurrahman Ganjur wafat, datang seseorang bernama
Khamidin ke pedukuhan Ngroto. Konon Khamidin adalah putra Mbah Samsudin,
seorang petani dari dukuh Jatipecaron. Maksud kedatangannya di pedukuhan
Ngroto, adalah untuk belajar mengaji dan memperdalam ilmu agama Islam. Setelah
tamat mengaji dia tidak kembali ke desanya, dan menikah dengan perawan dukuh
setempat. Karena dianggap dapat memimpin warga, maka beberapa tokoh pedukuhan
mengangkat dia menjadi Demang (kepala dukuh). Ternyata Ki Demang Khamidin
benar-benar cakap memimpin warga, serta memperhatikan kemajuan pedukuhan dalam
bidang agama dan pembangunan. Hal ini terbukti dengan didirikan sebuah masjid,
yang terletak pada sebidang tanah miliknya. Untuk mengerjakan bangunan masjid
dipercayakan kepada Kyai Soleh, dari desa Jatisari Salatiga (desa sebelah utara
Bringin-Salatiga), dan dibantu penduduk setempat secara gotong royong. Setelah
masjid selesai didirikan, banyak warga pedukuhan datang bersembahyang atau
mengaji.
Pada
suatu ketika warga yang datang mengaji di masjid berkurang, dan mereka hanya
bergerombol di persimpangan jalan saja. Sangatlah sedih hati Ki Demang
Khamidin, melihat warganya mulai enggan mengaji di masjid. Dari hasil laporan
beberapa orang kepercayaannya diketahui, bahwa sebagai penyebab karena yang
mengajar mengaji bukan kyai. Mendengar laporan itu, pergilah beliau mencari
kyai yang mau mengajar mengaji kepada warganya. Dalam hati beliau bersumpah,
tidak akan kembali ke pedukuhan kalau tidak membawa seorang kyai.
Pergilah
Ki Demang Khamidin ke pondok pesantren pedukuhan Kuwaron, yang pada waktu itu
memang sudah maju dan banyak santrinya. Beliau berfikir bahwa di pondok
pesantren itu pasti memiliki kyai, yang mau diajak ke pedukuhan Ngroto. Ketika
sampai di pondok pesantren Kuwaron, Ki Demang Khamidin bertemu Kyai Siradjudin
sebagai pemimpin pondok. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, Ki Demang
Khamidin lalu meminta Kyai Siradjudin untuk bersedia diajak ke pedukuhan
Ngroto. Tergeraklah hati Kyai Siradjudin mendengar cerita Ki Demang Khamidin,
dan beliau ingin menyelesaikan masalah yang ada di pedukuhan Ngroto. Karena
pondok pesantren Kuwaron waktu itu memiliki beberapa kyai, maka Kyai
Siradjudinpun bersedia diajak ke dukuh Ngroto. Setelah memberi tugas kepada
para kyai di pondok Kuwaron, maka Kyai Siradjudin berangkat mengikuti Ki Demang
Khamidin.
Singkat
cerita Ki Demang Khamidin kembali ke pedukuhan Ngroto, dengan mengajak serta
Kyai Siradjudin. Melihat kedatangan Ki Demang Khamidin bersama seorang kyai,
sangatlah senang hati warga pedukuhan Ngroto. Konon setelah itu, pada malam
hari di serambi masjid penuh warga masyarakat pedukuhan yang datang. Setelah
mendengar isi dakwah Kyai Siradjudin, semua merasa cocok dan bersedia diajar
mengaji beliau. Ki Demang Khamidin merasa puas, karena warganya mau datang lagi
ke masjid untuk belajar mengaji. Sebagai ungkapan rasa gembira, Kyai Siradjudin
dinikahkan dengan adik perempuannya (nama kurang jelas). Hal itu mempunyai
tujuan, agar Kyai Siradjudin betah tinggal di dukuh Ngroto.
Konon
cerita, pada suatu ketika Kyai Siradjudin berjalan-jalan sendirian di pinggir
sungai Tuntang. Karena kepandaian yang dimiliki, beliau dapat melihat ada dua
makam lama yang tertimbun lumpur sungai. Melihat hal itu beliau menanyakan pada
penduduk setempat, tentang siapa yang dimakamkan di pinggir sungai Tuntang itu.
Dari keterangan warga akhirnya beliau tahu, bahwa yang dimakamkan disitu adalah
Kyai Abdurrahman Ganjur berdampingan dengan ibunya Nyi Syamsiyah. Kyai
Siradjudin terkejut mendengar penjelasan itu, dan beliaupun ingat cerita
gurunya dulu tentang Kyai Abdurrahman Ganjur. Maka makam tersebut kemudian
dibersihkan, dan diberinya nisan diatas kedua makam. Diajaknya semua penduduk
dukuh Ngroto menghormati serta merawat makam itu, karena almarhum Kyai
Abdurrahman Ganjur adalah orang yang berjasa mengislamkan penduduk dukuh
Ngroto.
Kembali
pada Ki Demang Khamidin, sebagai kepala dukuh Ngroto. Beliau wafat dalam usia
sangat tua, dan oleh warga untuk jenazahnya dimakamkan di sebelah utara makam
Kyai Abdurrahman Ganjur. Konon menurut cerita penduduk desa Ngroto, bahwa dulu
nisan yang dipasang di makamnya berupa lesung yang diletakkan terbalik.
Masih
menurut cerita penduduk, bahwa dulu makam Ki Demang Khamidin terkenal sangat
wingit. Bila ada orang berjalan di dekat makam beliau tanpa mengucapkan salam,
akan dibuat bingung. Tetapi pada sekitar tahun 1980 ketika sungai Tuntang
banjir, air sungai menggenangi kompleks makam beliau. Lesung yang digunakan
sebagai nisan hanyut terbawa banjir, tanpa seorangpun warga yang mengetahui.
Melihat makam beliau tidak bernisan, digantinya dengan nisan batu. Anehnya
setelah nisan beliau diganti nisan batu, makam Ki Demang Khamidin tidak wingit
lagi seperti dulu.
Bangunan
masjid desa Ngroto peninggalan dari Ki Demang Khamidin dulu, sampai sekarang
ini masih berdiri kokoh. Bangunan tersebut terbuat dari kayu jati, dengan
tiaqng-tiang utama yang terbuat dari kayu jati glondongan. Walaupun bangunan
masjid itu sudah berpuluh-puluh tahun didirikan, tetapi anehnya di sudut-sudut
bangunan tidak kelihatan ada rumah serangga yang menempel. Menurut keterangan
warga setempat, bahwa dalam bangunan masjid itu selamanya belum pernah
dibersihkan. Kentongan yang dibuat bersamaan waktu masjid tersebut dibangun,
sekarang disimpan dekat tempat pengimaman. Hal itu perlu juga dilakukan, karena
kentongan tersebut sudah lapuk dimakan usia. Adapun kentongan yang dipakai
sekarang, adalah kentongan duplikat yang dibuat dari kayu nangka. Menurut
cerita masyarakat desa Ngroto, bahwa ketika mencari kayu untuk masjid semuanya
lupa mencari kayu yang akan dibuat menjadi kentongan. Karena tinggal beberapa
hari masjid tersebut digunakan, maka Kyai Kholil memerintahkan pada beberapa
orang santri untuk mencarinya. Konon dalam perintahnya, Kyai Kholil menyuruh
para santri untuk mencari kayu ”opo-opo”.
Benarkah
kentongan yang berdiameter 30 cm itu, dulunya dibuat dari jenis kayu opo-opo ?
Bila
kita bahas perintah dari Kyai Kholil kepada para santri untuk mencari kayu
opo-opo, mestinya yang diambil bukan kayu dari jenis tanaman perdu. Untuk kayu
opo-opo yang merupakan bahasa jawa, bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
artinya jenis kayu apa saja yang dapat dibuat kentongan. Dengan demikian, bukan
kayu opo-opo seperti yang banyak tumbuh di pinggir jalan ataupun di pinggir
ladang. Tetapi anehnya, untuk menentukan jenis kayu kentongan asli yang
tersimpan di atas pengimaman tersebut memang sangat sulit. Serat kayu kentongan
itu berbeda dengan serat kayu tumbuhan lain, yang banyak tumbuh di hutan dekat
desa Ngroto sekarang. Hal ini yang masih menjadi misteri bagi masyarakat desa
Ngroto, guna menentukan jenis kayu apakah yang dibuat menjadi kentongan oleh
Kyai Kholil pada waktu dulu.
( sbr : Mbah. Bejo )
0 Response to "MASJID JAMI' NGROTO"
Posting Komentar