SENI BARONG
SENI
BARONGAN
Kesenian
barongan doeloe sering ditampilkan dalam pementasan, seperti pada orang punya
kerja, apitan, atau pada acara “luwar ujar”. Atau sering kesenian barongan
dijadikan pelengkap, pada acara arak-arakan atau karnaval tempo doeloe.
Biasanya seni barongan inilah yang ditunggu para penonton, sehingga mereka rela
harus berdiri di pinggir jalan. Anak-anak kecil berlari terengah-engah, karena
dikejar oleh gendruwon (gendruwo) yang membawa pedang dari kayu atau oleh
barongannya itu sendiri dengan mulut yang menggertak-gertak. Dengan riangnya
anak-anak berteriak menggoda, dengan ucapan “Barongan Moto Beling, Ndas Butak
Ditempiling”. Anehnya ucapan tersebut di berbagai daerah sama, dan konon hal
tersebut adalah merupakan gambaran semangat para seniman barongan tempo doeloe,
yang ingin sekali menempeleng kepala para pejabat Belanda yang kebanyakan
berkepala botak. Jadi seni barongan bisa dijadikan sebagai ungkapan kebencian,
terhadap Belanda yang menjajah Indonesia.
Kesenian
Barong atau lebih dikenal dengan kesenian barongan, merupakan kesenian khas
Jawa Tengah. Seni barongan merupakan salah satu kesenian rakyat yang amat
populer, terutama masyarakat di pedesaan. Para ahli seni mengatakan, bahwa di
dalam seni Barong tercermin sifat-sifat kerakyatan seperti sifat : spontanitas,
kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang
dilandasi kebenaran. Barongan dalam kesenian barongan dibuat menyerupai Singo
Barong atau Singa besar, sebagai penguasa hutan angker dan sangat buas. Adapun
tokoh Singobarong dalam cerita barongan disebut GEMBONG AMIJOYO, atau berarti
harimau besar yang berkuasa. Kesenian Barongan berbentuk tarian kelompok,
menirukan keperkasaan gerak seekor Singa Raksasa. Peranan Singo Barong secara
totalitas didalam penyajian merupakan tokoh dominan, disamping ada beberapa
tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu : Bujang Ganong/Pujonggo Anom Joko
Lodro/Gendruwo Pasukan berkuda / reog Noyontoko. Selain tokoh tersebut diatas,
pementasan kesenian barongan dilengkapi beberapa perlengkapan yang berfungsi
sebagai instrumen musik yaitu Kendang,Gedhuk, Bonang, Saron, Demung dan Kempul.
Aslinya
kesenian barongan bersumber dari hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang diawali
dari iring-iringan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmarabangun/Pujonggo
Anom dan Singo Barong. Adapun secara singkat dapat diceritakan sebagai berikut
:
Prabu
Klana Sawandana dari Kabupaten Bantarangin jatuh cinta kepada Dewi Sekartaji
putri dari Raja Kediri, maka diperintah Patih Bujangganong/Pujonggo Anom untuk
meminangnya. Keberangkatannya disertai 144 prajurit berkuda, dipimpin oleh
empat orang perwira diantaranya Kuda Larean, Kuda Panagar, Kuda Panyisih dan
Kuda Sangsangan. Sampai di hutan Wengkar, rombongan Prajurit Bantarangin
dihadang oleh Singo Barong sebagai penjelmaan dari Adipati Gembong Amijoyo yang
ditugasi menjaga keamanan di perbatasan. Terjadilah perselisihan yang memuncak
menjadi peperangan sengit. Semua Prajurit dari Bantarangin dapat ditaklukkan
oleh Singo Barong, akan tetapi keempat perwiranya dapat lolos dan melapor
kepada Sang Adipati Klana Sewandana. Pada saat itu juga ada dua orang Punokawan
Raden Panji Asmara Bangun dari Jenggala bernama Lurah Noyontoko dan Untub juga
mempunyai tujuan yang sama, yaitu diutus R. Panji untuk melamar Dewi Sekar
Taji. Namun setelah sampai dihutan Wengker, Noyontoko dan Untub mendapatkan
rintangan dari Singo Barong yang melarang keduanya utuk melanjutkan perjalanan.
Namun keduanya saling ngotot, sehingga terjadilah peperangan yang ramai.
Noyontoko dan Untub merasa kewalahan, sehingga mendatangkan saudara
sepeguruannya yaitu Joko Lodro. Akan tetapi Singo Barong memiliki kesaktian,
meskipun sudah mati asal ditantang perang (disumbari) akan dapat hidup kembali.
Peristiwa ini kemudian dilaporkan ke R. Panji, dan berangkatlah R. Panji dengan
marah ingin menghadapi Singo Barong sendiri. Pada saat yang hampir bersamaan
Adipati Klana Sawendono juga menerima laporan dari Bujang Ganong (Pujang Anom) yang
dikalahkan oleh Singo Barong. Dengan rasa amarah Adipati Klana Sawendada
mencabut pusaka andalannya, yaitu berupa Pecut Samandiman, dan berangkatlah
menuju ke hutan untuk membunuh Singo Barong. Setelah sampai di hutan dan
bertemu dengan Singo Barong, maka tak terhindarkan pertempuran yang sengit
antara Adipati Klana Sawendana melawan Singo Barong. Dengan senjata andalannya
Adipati Klana Sawendana dapat menaklukkan Singo Barong dengan senjata
andalannya yang berupa Pecut Samandiman. Singo Barong kena Pecut Samandiman
menjadi lumpuh tak berdaya. Akan tetapi berkat kesaktian Adipati Klana
Sawendana kekuatan Singo Barong dapat dipulihkan kembali, dengan syarat Singo
Barong mau mengantarkan ke Kediri untuk melamar Dewi Sekartaji. Setelah sampai
di alun-alun Kediri pasukan tersebut bertemu dengan rombongan Raden Panji yang
juga bermaksud untuk meminang Dewi Sekartaji. Perselisihanpun tak terhindarkan,
akhirnya terjadilah perang tanding antara Raden Panji dengan Adipati Klana
Sawendano, yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Panji. Adipati Klana Sawendana
berhasil dibunuh sedangkan Singo Barong yang bermaksud membela Adipati Klana
Sawendana dikutuk oleh Raden Panji dan tidak dapat berubah wujud lagi menjadi
manusia (Gembong Amijoyo) lagi. Akhrnya Singo Barong Takhluk dan mengabdikan
diri kepada Raden Panji, termasuk prajurit berkuda dan Bujangganong dari
Kerajaan Bantarangin. Rombongan yang dipimpin oleh Raden Panji melanjutkan
perjalanan, guna melamar Dewi Sekartaji. Suasana arak-arakan yang dipimpin oleh
Singo Barong dan Bujangganong inilah yang menjadi latar belakang keberadaan
kesenian Barongan sampai sekarang ini.
Menurut
beberapa sumber, tokoh Singo Barong (singa raksasa) yang merupakan tokoh utama
dalam kesenian barongan, merupakan visualisasi dari semangat para pejuang itu.
Boleh jadi para pejuang terinspirasi oleh keberanian dan ideologi Gembong
Amijoyo yang merupakan figur asli dari jelmaan Singo Barong. Lirik selanjutnya
dari pantun kilat tersebut, barongan moto beling merupakan gambaran sepasang
mata Singo Barong yang dibuat dari kelereng berukuran besar dan berbahan dasar
kaca. Parikan ini ingin menyatakan bahwa semangat perjuangan anak bangsa tak
mengenal kompromi dalam melawan penjajah Belanda. Hal ini semakin jelas apabila
kita mendengar lirik selanjutnya ndhas pethak ditempiling. Menggambarkan
semangat para seniman yang waktu itu ingin sekali menempeleng kepala para
pejabat Belanda yang kebanyakan berkepala botak.
Barongan
Blora sendiri dibawa dan dikembangkan oleh Samin Suro Sentiko setelah tinggal
di Sumoroto, Ponorogo , tempat leluhurnya dimana nama Reyog di sumoroto saat
itu lebih populer dikenal Barongan. dari segi bentuk saat itu juga kepala Reyog
dengan mulut terbuka dengan mahkota merak yang besar, namun saat di Blora
sangat sulit untuk mendapatkan bulu merak, sehingga di ganti dengan bahan ijuk
yang di bentuk seperti dadak merak dan di selipkan beberapa bulu merak saja di
ijuk sebagai rambut barongan blora.
0 Response to "SENI BARONG"
Posting Komentar