Ular Raksasa Dipercaya Wariskan Sumur Garam Darat
TAWANGHARJO,Wisata-grobogan.com- Bekas keluarnya Ular raksasa di
wilayah Kabupaten Grobogan dikenal menjadi asal-muasal munculnya sumber garam.
Ular tersebut dikenal oleh sebagian besar warga lokal dalam dongeng cerita asal
mu asal desa sebagai ular yang telah memangsa sembilan dalam bahasa jawa
disebut songo bocah penggelamba kambing.Namun ular yang
diketahui bernama Joko Linglung, yakni pengartian dari kata jejaka yang
bingung, juga dikenal memilik kesaktian yang patut diperhitungkan. Joko
Linglung dikenal sebagai anak dari Aji Saka, penguasa kerajaan Medang Kamulan.
Munculnya sumur yang mengeluarkan air asin, salahsatunya di Desa Jono,
Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, dipercaya sebagai rembesan air dari
laut selatan atau segoro kidul dimana, Joko Linglung yang
diperintahkan Ajisaka untuk mengalahkan Prabu Dewata Cengkar yang
berubah jadi buaya putih penghuni laut selatan, hanya diperbolehkan pulang ke
Kerajaan Medang Kamulan melalui dalam tanah.
“Karena hanya diperbolehkan keluar dari lubang tanah, maka air dari laut
selatan mengalir ke Desa Jono, tempat dimana Joko Linglung keluar karena merasa
sudah sampai di Kerajaan Medang Kamulan yakni kerajaan tempat Ajisaka ayahnya
tinggal,” ungkap Kasrul, salahsatu petani garam daratan di Desa
Jono.
Namun, karena Desa Jono, teparnya dusun Jono Krajan, bukan kerajaan yang
dituju, kemudian, sang ular raksasa kembali masuk ke dalam untuk meneruskan
perjalanan mencari orang tuanya. Saat kelelahan harus membuka bumi, maka ular
Joko Linglung kemudian keluar lagi ke atas bumi, tempat keluar kedua belum
terlalu jauh hanya berjarak sekitar 50 kilometer dari Desa Jono tepatnya di
desa Crewek, Kecamatan Kradenan. “Karena keluar di desa Jono dan desa Crewek,
saat ini ada sumur air asin yang bisa dikeringkan menjadi kristal garam yang
dikenal kristal garam pink Desa Jono karena memang warga garamnya tidak seputih
garam dari laut,” tambah pria yang bertani garam sejak kelas lima sekolah
rakyat (SR).
Rembesan dari laut selatan melalui lubang yang dilintasi ular Joko
Linglung, kemudian menyebar di tiga dusun yakni dusun Punggungan, Jono Krajan
dan Sembung. Dimana, ribuan warga yang tinggal harus menerima damak negatif
yakni tidak bisa minum dari air yang keluar dari sumur yang dibuat.“Air
sumurnya asin, dibuat lebih dalam bahkan ada yang lebih dari 30
meter malah makin asin. Jadi warga dari sejak nenek moyang minum air yang
mengalir di sungai. Baru kemudian warga menyadari jika terkena panas air bisa
mengeras seperti garam sehingga mulailah muncul petani garam. Saat jaman
perang, petani garam lebih dari 2.000 orang bahkan hampir semua warga tiga
dusun bekerja bertani garam. Untuk minum tetap menggunakan air sungai yang di
tandon dulu agar jernih,” ungkap Sriyono, sesepuh desa yang juga pesiunan guru.
Rasa air asin, tidak dialami semua warga desa. Namun, hanya dirasakan di
beberapa dukuh saja. Ketika melintasi sungai, air sudah kembali tawar. “Yang
asin ya hanya sekitar tempat keluarnya ular Joko Linglung. Dukuh tetangga
airnya tidak asin seperti di Jono Krajan. Bahkan karena air di Jono Krajan
asin, sampai ada keturunan dari Keraton Surakarta yang membangunkan air ledeng
menyalurkan pipa puluhan kilometer. Katanya karena di sini ada turunan keraton
Surakarta,” tambahnya.
Sumber Pendapatan
Keluarnya air Garam, saat ini telah dimanfaatkan ratusan warga sebagai
sumber penghasilan sehari-hari. Dimana, ratusan warga secara mengelompok,
membuat Klakah yaitu bambu belah untuk menjemur garam.Salahsatunya Sudarji dan
Sunarti, istrinya. Pria yang mengandalkan pendapatan dari menjual
garam dengan memperkerjakan Sulasih dan Warti yakni anak dan
menantunya berjalan mampu menghasilkan uang hingga Rp 700 ribu per pekaya dari
memanen garam di petak sawah tempat penjemuran air garam.
Mengenakan caping atau topi dari bahan bambu berbentuk mirip gunung, untuk
melindungi wajah, Sunarti dan Sulasih, dengan cekatan mengambil gelas plastik
dan ember untuk mengambil garam dari klalah dengan cara mengerik menggunakan
gelas potongan botol air mineral. Mereka mengerik kristal pink yang ada di
lubang bambu untuk dimasukan ke dalam ember.
Sedang, Warti dan Sudarji dengan cekatan mengumpulkan klakah yang sudah
kosong untuk ditumpuk di pondok kecil yang lantainya dilubang untuk tandon air
garam. Beberapa kali, Warti juga mengambil ember plastik yang sudah berisi 2/3 nya
dengan kristal bercampur air kecoklatan dan menggantikan dengan ember kosong.
Ember yang berisi garam dan air garam yang diberi nama bleng atau borak alami
bahan pembuat kerupuk untuk dipisahkan antara bleng dengan kristal
garam."Klakah yang kosong diisi air garam lagi. Serelah diendapkan sekitar
dua hari, air garam didalam klakah dijemur agar air bisa berubah menjadi
kristal garam. Ketika musim sering turun hujan seperti sekarang. Air baru bisa jadi
garam sekitar 10 hingga 15 hari. Tapi, jika kemarau seminggu air sudah jadi
garam," aku Sulasih.
Tidak hanya lebih lama panen, tapi jumlah panenan garam juga turun.
Jika hujan panenan kemungkinan dua jam kerja dapai 30 kilogram. "Sedang jika
kemarau bisa dapat sampai 70 kilogram. Jika dihitung paling banyak dapat uang
sampai Rp 700 ribu," tambah ibu satu anak ini.
Klakah yang kosong, kemudian oleh sang ayah diisi kembali dengan air garam.
Pengisian, dilakukan dengan cara tradisional. Dimana, bilah bambu yang ujungnya
diberi belahan bola plastik dilubangi sedikit untuk mengalirkan air."Ini
sedang ngisi air garam. Tapi, jika ambil air dari parit itu hanya buat nyiram
rak bambu agar bambu licin saat mindahkan klakah," tambah Sudarji sembari
mengisi air pada klakah.
Bertani garam sudah dilakukan warga Desa Jono sejak ratusan tahun yang lalu
dan merupakan mata pencaharian pokok warga setempat. Lebih dari 30 orang
petani garam daratan saat ini masih bertahan dengan warisan leluhurnya. (RE)
Bagus,tapi kurang lengkap bledug kuwu juga penghasil garam
BalasHapus